Tidak tercatat kapan Cina secara spesifik mulai membangun apa yang sekarang kita ketahui sebagai Jakarta. Namun, Belanda pertama datang pada tahun 1596 dan menemukan para pedagang Cina di tepi timur sungai sedang membuat arak beras. Tanah ini diserahkan oleh Pangeran Wijaya Krama, penguasa lokal yang tunduk pada Banten, pusat kerajaan saat itu.
Jika kita nengok ke belakang, kamu akan menemukan catatan dari istana-istana kerajaan Demak dan Cirebon, yang menyiratkan bahwa nenek moyang bangsawan memiliki darah Tionghoa. Terdapat juga bukti transaksi antara pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban dengan Cina di abad ke-9. 700 tahun sebelum Belanda datang - banyak cerita yang harus didongeng tentang sejarah Jawa.
Seperti di seluruh Asia Tenggara, para petualang jauh yang mencari peruntungan berkeliaran kemana-mana. Pria lajang ini memiliki kerja keras dan tetap menetap di tempat tujuan mereka serta menikah secara lokal. Setelah sukses, mereka akan mengirim uang ke rumah keluarganya dengan harapan bisa pulang suatu hari nanti. Ini merupakan tanda pengabdian mereka, untuk dimakamkan bersama leluhur mereka di tanah airnya.
Bisnis asalnya adalah perdagangan, dengan bahasa Melayu, Farsi, dan Portugis. Namun, orang Tionghoa yang membuka pintu untuk mengambil keuntungan dari pasar.
Banten adalah pusat kekayaan abad ke-16 dari bumbu dan rempah-rempah. Masyarakat Tionghoa memilih dompet yang kaya selama masa itu. Sekarang, Banten Lama tetap berdiri sebagai pengingat masa lalu. Sebuah kuil Tionghoa berdiri di samping benteng Belanda yang rumit yang pernah menghadap ke pelabuhan terbesar di timur. Namun, tidak seperti pedagang dan gelandangan yang mengisi pasar abad pertengahan, lautan telah hilang. Runtuhan istana Sultan di dekat masjid dengan menara Cina tetap menjadi peninggalan awal Singapura.
Sementara itu, lebuhraya air di Cina Ciliwung menjual arak ke pelaut yang lewat. Itulah tempat Kerajaan Pajajaran berusaha untuk terhubung dengan dunia luar. Bisa jadi ada orang Cina yang melihat naik dan turunnya sungai, serta menawarkan minuman keras bagi para penjelajah yang berpetualang dan berbahaya di Laut Timur.
Walaupun kecil, komunitas Tionghoa sangat tertib dan memiliki seorang pemimpinnya yang disebut Watting. Gagasan tentang orang yang mewakili setiap komunitas adalah hal yang lazim di seluruh Nusantara pada saat itu. Di awal pasar Banten dan Jakarta, Anda dapat melihat Arab, Gujarat, Eropa berdagang, Bugis menyiapkan kapal mereka, serta tentara bayaran Jepang berjaga-jaga. Setiap komunitas memiliki ketuanya sendiri atau wakil untuk menyelesaikan masalah dengan komunitas lainnya dan biasanya mendamaikan situasi dalam suasana cukup akrab.
Sejak permulaan abad ke-17, orang Eropa yang datang ke Jakarta untuk mencari peruntungan menemukan ototitas Belanda yang melindungi hak monopoli Perusahaan Hindia Timur Belada. Ini membuat para pendatang baru marah karena mereka tidak dapat mengambil bagian dalam perdagangan. Orang-orang Tionghoa, sebaliknya, tetap bebas untuk ikut serta di pasar ini dan menikmati keuntungan yang diperoleh dengan bebas. Sehingga pada awalnya Jakarta - atau Batavia - terkenal sebagai kota Cina di bawah otoritas Belanda
Sebelum tahun 1740, komunitas Tionghoa di Indonesia semakin besar. Namun, ketika pengrusuhan dan pogrom pada tahun 1740 itu terjadi, mengakibatkan ribuan orang Tionghoa yang meninggal. Sungai yang ada di sekitar Jakarta juga berubah menjadi warna merah. Hingga saat ini, kita tetap mengingatnya dengan sebutan 'Angke', yaitu Sungai Merah, dan disebut demikian untuk selalu ingat peristiwa suram 267 tahun lalu.